Senin, 18 Mei 2015

Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

1.1                    Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.


1.2                    Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.


Undang Undang Ekonomi Daerah


2.1.                 Dasar Hukum Otonomi Daerah

2.      Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
3.      Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
4.      UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5.      UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


2.2.                 Pelaksanaan Otonomi Daerah

UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:

“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945  Pasal 18 ayat (7), bahwa:

“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.


2.3.                 Perubahan UU Otonomi Daerah

Pada tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan masukan yang disampaikan sehingga dilakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor  23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Sesungguhnya UU otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).

Selanjutnya dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah


Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.

Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.


3.1.                 Perubahan atas Pendapatan

Terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
·         Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
·         Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
·         Jika dalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.


3.2.                 Perubahan atas Alokasi Anggaran Belanja

Merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berrdasarkan penyebabnya adalah:

Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.

Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak berubah.

Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan APBD. 


3.3.                 Perubahan dalam Pembiayaan

terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat penyusunan APBD harus direvisi. Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).

SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.

Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun berjalan dengan Laporan  Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan perubahan alokasi belanja.


 3.4.                 Pergeseran Anggaran 

Peruahan anggaran sejatinya akan mengubah posisi, proporsi, dan komposisi rekening-rekening dalam APBD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, ada beberapa aturan tertulis yang harus dipahami, yakni :

1.      PERMENDAGRI 13/2006

BAB VIII

PERUBAHAN APBD
Bagian Pertama
Dasar Perubahan APBD
Pasal 154
1)      Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
§  Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
§  Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan;
Keadaan darurat; dan
Keadaan luar biasa.
Bagian Ketiga
Pergeseran Anggaran
Pasal 160
1)      Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b serta pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja diformulasikan dalam DPPA-SKPD.
2)      Pergeseran antar rincian obyek belanja dalam obyek belanja berkenaan dapat dilakukan atas persetujuan PPKD.
3)      Pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja berkenaan dilakukan atas persetujuan sekretaris daerah.
4)      Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk selanjutnya dianggarkan dalam rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.
5)      Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja dapat dilakukan dengan cara merubah peraturan daerah tentang APBD.
6)      Anggaran yang mengalami perubahan baik berupa penambahan dan/atau pengurangan akibat pergeseran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dijelaskan dalam kolom keterangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD.
7)      Tata cara pergeseran sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam peraturan kepala daerah.



2.      PP58/2005

Bagian Kedua
Perubahan APBD
Pasal 81
Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan, dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
§  Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
§  Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
§  keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk tahun berjalan;
§  Keadaan darurat; dan
§  Keadaan luar biasa.

3.      UU32/2004

Paragraf Kedelapan
Perubahan APBD
Pasal 183
1)      Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
§  Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
§  Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan
§  Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.
2)      Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
3)      Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pergeseran anggaran adalah dasar dari perubahan APBD.


3.5.                 Peranan Pendapatan Asli Daerah

APBD pada pemerintahan daerah seperti halnya APBN dalam pemerintahan pusat, memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Fungsi APBN dan APBD menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, yaitu sebagai berikut.
·         Fungsi Otorisasi
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
·         Fungsi Perencanaan
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
·         Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
·         Fungsi Alokasi
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
·         Fungsi Distribusi
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara dan daerah harus memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.




Pembangunan Ekonomi Regional

4.1.                 Kebijakan Pembangunan Regional

Kebijakan pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan keputusan dan intervensi pemerintah, baik secara nasional maupun regional untuk mendorong proses pembangunan daerah secara keseluruhan. Analisis ini sangat penting artinya dalam rangka menerapkan teori dan konsep yang di jelaskan terdahulu guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan pada wilayah yang masih terbelakanag. Semua ini diperlukan untuk dapat meningkatkan proses pembangunan daerah sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


4.2.                 Perlunya Kebijakan Pembangunan Wilayah

Kebijakan Pembangunan merupakan keputusan publik yang di perlukan di tingkat nasional maupun wilayah sehingga dapat di wujudkan suatu kondisi sosial yang diharapkan akan dapat mendorong proses pembangunan ke arah yang di inginkan masyarakat, baik pada saat sekarang maupun untuk periode tertentu di masa yang akan datang. Sasaran Akhir dari kebijakan pembangunan tersebut adalah untuk dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Kebijakan pada tingkat wilayah diperlukan karena kondisi permasalahan dan potensi pembangunan yang dimiliki suatu wilayah umumnya berbeda satu sama lainnya sehingga kebijakan yang diperlukan tidak sama. Misalnya wilayah pantai yang masyarakatnya umumnya para nelayan akan memerlukan kebijakan pembangunan yang berbeda dengan masyarakat daerah dataran tinggi yang banyak begerak dalam usaha perkebunan, ataupun daerah perkotaan yang banyak bergerak pada sektor perdagangan jasa dan industri yang berbeda dengan daerah kabupaten yang didominasi oleh sektor pertanian.

4.3.  \               Sasaran Kebijakan Wilayah

Menurut  pandangan Winnick (1966) dan kemudiandi lanjutkan oleh Richargson (1978) terdapat dua alternatif sasaran kebijakan wilayah yaitu:

1.      Kemakmuran Wilayah
Bertujuan untuk mewujudkan kondisi fisik daerah yang maju meliputi prasarana dan sarana, perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas pelayanan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup dan lain-lainnya. Hal tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat cepat, kegiatan penanaman modal meningkat pesat, dan mendorong peningkatan migrasi masuk dari daerah lain seiring bertambahnya lapangan kerja.
Namun demikian, kemajuan ini biasanya akan di nikmati oleh para pendatang yang kualitas sumber daya manusianya lebih baik dari penduduk setempat. Akibatnya akan terjadi ketimpangan distribus pendapatan yang cukup tinggi antara para pendatang dan dan penduduk setempat.
 
2.      Kemakmuran Masyarakat
Bilamana kemakmuran masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah,maka tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada pembangunan penduduk setempat. Program dan kegiatan lebih banyak di arahkan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan produksi masyarakat.




 Faktor faktor Penyebab Ketimpangan

5.1.                 Konsentrasi Kegiatan Ekonomi 

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak dinikmati di Jawa.


5.2                    Alokasi Investasi 

Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. 


5.3                    Perbedaan Kondisi Demografis antar
Provinsi 

Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.


Pembangunan Indonesia Bagian Timur


6.1    Keunggulan Wilayah Indonesia Bagian Timur

Keunggulan atau kekuatan yang dimiliki IBT terutama adalah sebagai berikut.

§    Kekayaan sumber daya alam (SDA).
§    Posisi geografis yang strategis.
§    Potensi lahan pertanian yang cukup luar
§    Potensi sumber daya manusia (SDM).

Sebenarnya dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki IBT tersebut di atas, kawasan ini sudah lama harus menjadi suatu wilayah di indonesia di mana masyarakatnya makmur dan memiliki sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor industri manufaktur yang angat kuat. Namun, selama ini kekayaan tersebut di satu pihak tidak digunakan secara optimal dan di pihak lain kekayaan tersebut di exploited oleh “pihak luar” yang tidak memberi keuntungan ekonomi yang berarti bagi IBT itu sendiri.


6.2    Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur

Disamping memiliki berbagai keunggulan di atas, IBT juga memiliki berbagai kelemahan yang membutuhkan sejumlah tindakan pembenahan dan perbaikan. Kalau tidak, kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Berbagai kelemahan dan kekurangan yang masih dimiliki IBT diantaranya adalah sebagai berikut.

§    Kualitas sumber daya manusia yang masih rendah.
§    Keterbatasan sarana infrastruktur.
§    Kapasitas kelembagaan pemerintah dan publik masih lemah.
§    Partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih rendah.



6.3               Kendala dan Tantangan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

Pemerintah juga menyadari bahwa kendala-kendala pembangunan seperti kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi, terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia serta kendala geografis yang relatif terisolasi merupakan masalah utama bagi pengembangan KTI. Beberapa propinsi yang lebih cepat berkembang memiliki jumlah dan kualitas prasarana dan sarana yang relatif lebih baik dibandingkan propinsi lainnya, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, serta Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Begitu pula dengan jaringan transportasi, telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan kualitas pelayanannya di wilayah KTI masih harus ditingkatkan.

Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan berkurangnya tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara wilayah KBI dengan wilayah KTI, perlu diupayakan dukungan dari investasi pemerintah yang lebih memadai pada wilayah-wilayah tertinggal. Dukungan investasi pemerintah yang memadai tersebut perlu pula dibarengi dengan penciptaan dan perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan menunjang peran serta investasi dari pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya pada wilayah-wilayah yang relatif masih tertinggal tersebut. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah dan sulitnya kondisi alam, serta terbatasnya sumberdaya dan dana yang tersedia di kawasan ini, pembangunan prasarana dan sarana tersebut perlu diprioritaskan pada wilayah-wilayah yang telah dan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.


6.4                    Kinerja Investasi Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia

Pembangunan ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah tersebut. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan.

Untuk mengurangi kesenjangan yang masih ditemui, investasi pemerintah menjadi sarana yang penting untuk memacu pembangunan daerah yang tertinggal. Sehubungan dengan itu dikembangkan kebijaksanaan alokasi investasi pemerintah yang lebih besar ke kawasan di luar Jawa khususnya pada propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia, untuk mendorong investasi swasta ke kawasan yang sama, dan pertumbuhan ekspor nonmigas pada kawasan di luar Jawa.

Dalam Repelita VI propinsi-propinsi di KTI akan memperoleh kenaikan pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun 1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.


Kondisi yang sama diharapkan juga terjadi terhadap alokasi investasi swasta kepada wilayah di luar Jawa, sehingga pangsa investasi pemerintah di Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama periode yang sama.
Percepatan pertumbuhan pembangunan wilayah yang relatif tertinggal tersebut juga akan memberikan implikasi yang cukup nyata pada reorientasi ekspor nonmigas. Secara rata-rata, ekspor diperkirakan akan tumbuh sekitar 16,8% per tahun selama kurun waktu Repelita VI. Khusus untuk wilayah KTI, pertumbuhan ekspor nonmigasnya diperkirakan akan sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.

Sesuai dengan komitmen pemerintah untuk memperbesar alokasi investasi pemerintah di wilayah KTI, maka rencana alokasi pengeluaran rupiah murni investasi pemerintah tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI adalah sebesar Rp.6.486,5 miliar atau 29,4% dari total rencana alokasi investasi pemerintah sebesar Rp.22.089,1 miliar. RAPBN tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI menunjukkan adanya kenaikan sebesar 21,5% dibandingkan dengan alokasi APBN tahun anggaran 1995/96 untuk wilayah yang sama, yang besarnya Rp.5.339,2 miliar. Kenaikan sebesar 21,5% tersebut relatif lebih besar bila dibandingkan dengan kenaikan anggaran pemerintah baik yang diperoleh wilayah KBI yang hanya sebesar 14,2% maupun kenaikan secara nasional yang besarnya 16,1%.

Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah


7.1        Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

A.   Teori Basis Ekonomi

Teori ini berdasarkan pada ekspor barang (komoditas). Sasaran pengembangan teori ini adalah peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan. Proses pengembangan kawasan adalah merespon permintaan luar negeri atau dalam negeri atau di luar nodalitas serta multiplier effect ( Geltner, 2005).

Teori ini hanya mampu memprediksi jangka pendek dan tidak mampu merespon perubahan jangka panjang. Hanya menekankan perlunya mengembangkan sektor industri non basis, tidak mengenal bahwa ekonomi regional adalah mengintegrasikan seluruh aktivitas ekonomi yang saling mendukung. Penerapan pengembangan industri ini berorientasi ekspor dan subtitusi impor, promosi dan pengerahan industri, peningkatan efisiensi ekonomi ekspor melalui perbaikan infrastruktur Oleh karena itu, dibutuhkan  integrasi antara jenis industri, prasarana, dan perluasan industri. Dapat disusun hipotesa selain lokasi juga peranan sektoral serta LQ ( Location Qoutient) sektor konstruksi perumahan realestat dalam satu kawasan.


B.   Teori Lokasi

Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk memperhitungkan pola lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan industri dengan cara yang konsisten. Lokasi dalam ruang dibedakan menjadi dua yaitu:
·         Lokasi absolut.
Lokasi absolut adalah lokasi yang berkenaan dengan posisi menurut koordinat garis lintang dan garis bujur (letak astronomis). Lokasi absolut suatu tempat dapat diamati pada peta (kelihatan).
·         Lokasi relatif.
Lokasi relatif adalah lokasi suatu tempat yang bersangkutan terhadap kondisi wilayah-wilayah lain yang ada di sekitarnya.

Dari sekian banyak teori lokasi, pada prinsipnya sama, yaitu membicarakan bagaimana menentukan lokasi industri. Teori lokasi yang dikemukakan oleh Alfred Weber berawal dari tulisannya yang berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Prinsip teori Weber adalah: “Penentuan lokasi industri ditempatkan di tempat-tempat yang resiko biaya atau ongkosnya paling murah atau minimal (least cost location)“. Asumsi Weber yang bersifat
 prakondisi adalah sebagai berikut:
·         Wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya. Keadaan penduduk yang dimaksud adalah menyangkut jumlah dan kualitasnya.
·         Ketersediaan sunber daya bahan mentah. Invetarisasi sumber daya bahan mentah sangat diperlukan dalam industri.
·         Persaingan antar kegiatan industri.
·         Upah tenaga kerja. Upah atau gaji bersifat mutlak harus ada dalam industri yakni untuk membayar para tenaga kerja.
·         Biaya pengangkutan (ongkos angkut) bahan baku ke lokasi pabrik yang ditentukan oleh bobot bahan baku dan lokasi bahan baku.
Manusia berpikir rasional.

Weber menyusun model yang dikenal dengan sebutan segitiga lokasional (locational triangle). Menurut Weber, untuk menentukan lokasi industri terdapat tiga faktor penentu, yaitu:
·         Material
·         Konsumsi.
·         Tenaga Kerja.
Biaya transportasi menurut Weber tergantung dari dua hal pokok yaitu bobot barang dan jarak yang harus ditempuh untuk mengangkutnya.

Selain teori dari Weber, dalam pembahasan ini juga akan dibahas teori tempat pusat (Central Place Theory) dari Walter Christaller (1933). Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang berkaitan dengan masalah tentang bagaimana menentukan jumlah, ukuran dan pola penyebaran kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Christaller adalah sebagai berikut:
·         Suatu lokasi yang memiliki permukaan datar yang seragam.
·         Lokasi tersebut memiliki jumlah penduduk yang merata.
·         Lokasi tersebut mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang merata.
·         Jumlah penduduk yang ada membutuhkan barang dan jasa.


Prinsip yang dikemukakan oleh Christaller adalah:
·         Range adalah jarak jangkauan antara penduduk dan tempat aktivitas pasar yang menjual kebutuhan komoditi atau barang. Jika jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka penduduk cenderung akan mencari barang dan jasa ke pasar lain yang lebih dekat.
·         Threshold adalah  jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population distribution).

Dari komponen range dan threshold maka lahir prinsip optimalisasi pasar (market optimizing principle).  Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan terbentuk wilayah  pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk sekitarnya. Jika sebuah pusat dalam range dan threshold yang membentuk lingkaran, bertemu dengan pusat yang lain yang juga memiliki range dan threshold tertentu, maka akan terjadi daerah yang bertampalan. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki kesempatan yang relatif sama untuk pergi kedua pusat pasar itu.

C.   Teori Daya Tarik Industri

Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasarinya adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industri melalui pemberian subsidi dan insentif.

Faktor-faktor daya tarik industri adalah:
1.      NT tinggi per pekerja.
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang penting, tak hanya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tapi juga pada pembentukan PDRB.
2.      Industri-industri ikatan.
Ini berarti perkembangan industri-industri tersebut akak menigkatkan total NT daerah, atau mengurangi ‘kebocoran ekonomi’ dan ketergantungan impor.
3.      Daya saing di masa depan.
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan industri yang bersangkutan, agar ke depannya pasar memiliki kekuatan untuk bersaing. Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk yang sukses adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya perencanaan agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada lingkup daerah, nasional maupun internasional.
4.      Spesialisasi industri.

Suatu daerah sebaiknya berspesialisasi di mana daerah tersebut unggul (teori klasik perdagangan internasional), dan dengan demikian daerah tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan.


ACHMAD IDHAM IMADUDDIN (20214122)

AGUS USMA IRAWAN (20214513)

DIKA PAMBUDI (23214070)

LUTHFI ALDRIANSYAH (26214187)



*Sumber