Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah dan
Otonomi Daerah
1.1
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah,
otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani,
otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos
berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah
tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan
otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,
juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang
harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih
nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
1.2
Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola
sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja
baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut.
Undang Undang Ekonomi Daerah
2.1.
Dasar Hukum Otonomi Daerah
2.
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
3.
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
4.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
5.
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2.2.
Pelaksanaan Otonomi Daerah
UU otonomi daerah itu
sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai
bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di
Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum
dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”.
Selanjutnya
Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur
mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan
tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di
Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi
daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998.
Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal
pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah
diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata
laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
2.3.
Perubahan UU Otonomi Daerah
Pada
tahap selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan untuk
lebih disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan masukan yang disampaikan
sehingga dilakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan
peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang
berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya
UU
otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan
setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting
namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya
dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan
sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan
perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada
meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun,
bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar
belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran
pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan
atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA
(Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu
alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
3.1.
Perubahan atas
Pendapatan
Terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku
oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD.
Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi
di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun
anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a)
tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b)
perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian
target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa
perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
·
Target
pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika
sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka
itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud
merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk
dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
·
Alasan penentuan
target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang
dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan
adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan
anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk
membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi
tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
·
Jika dalam
APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam
APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan
pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target
PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja
modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai
dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
3.2.
Perubahan atas
Alokasi Anggaran Belanja
Merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja
langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berrdasarkan
penyebabnya adalah:
Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus
dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya
perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA
201b.
Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement).
Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk
SKPD yang bersangkutan tidak berubah.
Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan,
khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat
berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari
perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif
(dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target
PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu dilakukan “adjustment” pada
saat dilakukan perubahan APBD.
3.3.
Perubahan dalam Pembiayaan
terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat
penyusunan APBD harus direvisi. Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam
APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun
anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan,
setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).
SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih
Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun
berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat
taksiran, belum definitif, karena (a)
pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan
oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI
belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.
Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD
tahun berjalan dengan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya
merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran dalam
tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika
diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran atau
SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan perubahan
alokasi belanja.
3.4.
Pergeseran
Anggaran
Peruahan anggaran sejatinya akan mengubah posisi, proporsi, dan komposisi
rekening-rekening dalam APBD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, ada
beberapa aturan tertulis yang harus dipahami, yakni :
1.
PERMENDAGRI
13/2006
BAB VIII
PERUBAHAN APBD
Bagian Pertama
Dasar Perubahan APBD
Pasal 154
1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
§ Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
§ Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun
sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan;
Keadaan darurat; dan
Keadaan luar biasa.
Bagian Ketiga
Pergeseran Anggaran
Pasal 160
1) Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1)
huruf b serta pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja dan antar
rincian obyek belanja diformulasikan dalam DPPA-SKPD.
2) Pergeseran antar rincian obyek belanja dalam obyek
belanja berkenaan dapat dilakukan atas persetujuan PPKD.
3) Pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja
berkenaan dilakukan atas persetujuan sekretaris daerah.
4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk selanjutnya dianggarkan dalam
rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.
5) Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja dapat dilakukan dengan cara merubah peraturan
daerah tentang APBD.
6) Anggaran yang mengalami perubahan baik berupa
penambahan dan/atau pengurangan akibat pergeseran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus dijelaskan dalam kolom keterangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran perubahan APBD.
7) Tata cara pergeseran sebagaimana dimaksud ayat (2) dan
ayat (3) diatur dalam peraturan kepala daerah.
2.
PP58/2005
Bagian Kedua
Perubahan APBD
Pasal 81
Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau
perubahan keadaan, dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka
penyusunan prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan,
apabila terjadi:
§ Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD;
§ Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
§ keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk tahun berjalan;
§ Keadaan darurat; dan
§ Keadaan luar biasa.
3.
UU32/2004
Paragraf Kedelapan
Perubahan APBD
Pasal 183
1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
§ Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD;
§ Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan
§ Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan
anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran
berjalan.
2) Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang
perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada
DPRD.
3) Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang
perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling
lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pergeseran anggaran adalah
dasar dari perubahan APBD.
3.5.
Peranan Pendapatan Asli Daerah
APBD pada
pemerintahan daerah seperti halnya APBN dalam pemerintahan pusat, memiliki tiga
fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Fungsi APBN dan APBD menurut
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, yaitu sebagai berikut.
·
Fungsi Otorisasi
Fungsi
otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
·
Fungsi Perencanaan
Fungsi
perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
·
Fungsi Pengawasan
Fungsi
pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
·
Fungsi Alokasi
Fungsi
alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian.
·
Fungsi Distribusi
Fungsi
distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara dan daerah harus
memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pembangunan
Ekonomi Regional
4.1.
Kebijakan
Pembangunan Regional
Kebijakan
pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan keputusan dan intervensi
pemerintah, baik secara nasional maupun regional untuk mendorong proses
pembangunan daerah secara keseluruhan. Analisis ini sangat penting artinya
dalam rangka menerapkan teori dan konsep yang di jelaskan terdahulu guna
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja
dan penanggulangan kemiskinan pada wilayah yang masih terbelakanag. Semua ini
diperlukan untuk dapat meningkatkan proses pembangunan daerah sekaligus untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.2.
Perlunya
Kebijakan Pembangunan Wilayah
Kebijakan
Pembangunan merupakan keputusan publik yang di perlukan di tingkat nasional
maupun wilayah sehingga dapat di wujudkan suatu kondisi sosial yang diharapkan
akan dapat mendorong proses pembangunan ke arah yang di inginkan masyarakat,
baik pada saat sekarang maupun untuk periode tertentu di masa yang akan datang.
Sasaran Akhir dari kebijakan pembangunan tersebut adalah untuk dapat mendorong
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh
sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat.
Kebijakan
pada tingkat wilayah diperlukan karena kondisi permasalahan dan potensi
pembangunan yang dimiliki suatu wilayah umumnya berbeda satu sama lainnya
sehingga kebijakan yang diperlukan tidak sama. Misalnya wilayah pantai yang
masyarakatnya umumnya para nelayan akan memerlukan kebijakan pembangunan yang
berbeda dengan masyarakat daerah dataran tinggi yang banyak begerak dalam usaha
perkebunan, ataupun daerah perkotaan yang banyak bergerak pada sektor
perdagangan jasa dan industri yang berbeda dengan daerah kabupaten yang
didominasi oleh sektor pertanian.
4.3. \ Sasaran
Kebijakan Wilayah
Menurut pandangan Winnick (1966) dan kemudiandi lanjutkan
oleh Richargson (1978) terdapat dua
alternatif sasaran kebijakan wilayah yaitu:
1. Kemakmuran
Wilayah
Bertujuan
untuk mewujudkan kondisi fisik daerah yang maju meliputi prasarana dan sarana,
perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas
pelayanan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup
dan lain-lainnya. Hal tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah
akan meningkat cepat, kegiatan penanaman modal meningkat pesat, dan mendorong
peningkatan migrasi masuk dari daerah lain seiring bertambahnya lapangan kerja.
Namun
demikian, kemajuan ini biasanya akan di nikmati oleh para pendatang yang
kualitas sumber daya manusianya lebih baik dari penduduk setempat. Akibatnya
akan terjadi ketimpangan distribus pendapatan yang cukup tinggi antara para
pendatang dan dan penduduk setempat.
2. Kemakmuran
Masyarakat
Bilamana
kemakmuran masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah,maka tekanan
utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada pembangunan penduduk
setempat. Program dan kegiatan lebih banyak di arahkan dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan produksi masyarakat.
Faktor
faktor Penyebab
Ketimpangan
5.1.
Konsentrasi Kegiatan Ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah
tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi
tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah
cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna
ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya
terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang
sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau
prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya
sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari
daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat
lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa
mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak
dinikmati di Jawa.
5.2
Alokasi Investasi
Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak
faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama
sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan
keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber
daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas
dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang
relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang tersedia di alam
dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi
menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam
yang tidak dapat diperbarui.
5.3
Perbedaan Kondisi Demografis antar
Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan
lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh
sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini
biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
Pembangunan Indonesia Bagian Timur
6.1 Keunggulan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Keunggulan atau kekuatan yang
dimiliki IBT terutama adalah sebagai berikut.
§ Kekayaan
sumber daya alam (SDA).
§ Posisi
geografis yang strategis.
§ Potensi
lahan pertanian yang cukup luar
§ Potensi
sumber daya manusia (SDM).
Sebenarnya
dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki IBT tersebut di atas, kawasan ini
sudah lama harus menjadi suatu wilayah di indonesia di mana masyarakatnya
makmur dan memiliki sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor industri
manufaktur yang angat kuat. Namun, selama ini kekayaan tersebut di satu pihak
tidak digunakan secara optimal dan di pihak lain kekayaan tersebut di exploited
oleh “pihak luar” yang tidak memberi keuntungan ekonomi yang berarti bagi
IBT itu sendiri.
6.2 Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Disamping
memiliki berbagai keunggulan di atas, IBT juga memiliki berbagai kelemahan yang
membutuhkan sejumlah tindakan pembenahan dan perbaikan. Kalau tidak,
kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Berbagai kelemahan dan kekurangan yang
masih dimiliki IBT diantaranya adalah sebagai berikut.
§ Kualitas
sumber daya manusia yang masih rendah.
§ Keterbatasan
sarana infrastruktur.
§ Kapasitas kelembagaan
pemerintah dan publik masih lemah.
§ Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan masih rendah.
6.3
Kendala dan Tantangan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia
Pemerintah juga menyadari bahwa kendala-kendala
pembangunan seperti kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi,
terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia serta kendala geografis
yang relatif terisolasi merupakan masalah utama bagi pengembangan KTI. Beberapa
propinsi yang lebih cepat berkembang memiliki jumlah dan kualitas prasarana dan
sarana yang relatif lebih baik dibandingkan propinsi lainnya, seperti
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, serta Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan. Begitu pula dengan jaringan transportasi, telekomunikasi, dan energi
listrik, ketersediaan dan kualitas pelayanannya di wilayah KTI masih harus
ditingkatkan.
Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan berkurangnya
tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara wilayah KBI
dengan wilayah KTI, perlu diupayakan dukungan dari investasi pemerintah yang
lebih memadai pada wilayah-wilayah tertinggal. Dukungan investasi pemerintah
yang memadai tersebut perlu pula dibarengi dengan penciptaan dan perbaikan
iklim investasi yang pada gilirannya akan menunjang peran serta investasi dari
pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya pada wilayah-wilayah yang relatif
masih tertinggal tersebut. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah dan
sulitnya kondisi alam, serta terbatasnya sumberdaya dan dana yang tersedia di
kawasan ini, pembangunan prasarana dan sarana tersebut perlu diprioritaskan
pada wilayah-wilayah yang telah dan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
6.4
Kinerja Investasi Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia
Pembangunan ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang
tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan
antardaerah tersebut. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan
terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara
Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia,
dan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan.
Untuk mengurangi kesenjangan yang masih ditemui, investasi pemerintah
menjadi sarana yang penting untuk memacu pembangunan daerah yang tertinggal.
Sehubungan dengan itu dikembangkan kebijaksanaan alokasi investasi pemerintah
yang lebih besar ke kawasan di luar Jawa khususnya pada propinsi-propinsi di kawasan
timur Indonesia, untuk mendorong investasi swasta ke kawasan yang sama, dan
pertumbuhan ekspor nonmigas pada kawasan di luar Jawa.
Dalam Repelita VI propinsi-propinsi di KTI akan memperoleh kenaikan
pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun
1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI
diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.
Kondisi yang sama diharapkan juga terjadi terhadap alokasi investasi
swasta kepada wilayah di luar Jawa, sehingga pangsa investasi pemerintah di
Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada
akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4%
menjadi 12,6% selama periode yang sama.
Percepatan
pertumbuhan pembangunan wilayah yang relatif tertinggal tersebut juga akan
memberikan implikasi yang cukup nyata pada reorientasi ekspor nonmigas. Secara
rata-rata, ekspor diperkirakan akan tumbuh sekitar 16,8% per tahun selama kurun
waktu Repelita VI. Khusus untuk wilayah KTI, pertumbuhan ekspor nonmigasnya
diperkirakan akan sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Sesuai dengan komitmen pemerintah untuk memperbesar alokasi investasi
pemerintah di wilayah KTI, maka rencana alokasi pengeluaran rupiah murni
investasi pemerintah tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI adalah sebesar
Rp.6.486,5 miliar atau 29,4% dari total rencana alokasi investasi pemerintah
sebesar Rp.22.089,1 miliar. RAPBN tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI
menunjukkan adanya kenaikan sebesar 21,5% dibandingkan dengan alokasi APBN
tahun anggaran 1995/96 untuk wilayah yang sama, yang besarnya Rp.5.339,2
miliar. Kenaikan sebesar 21,5% tersebut relatif lebih besar bila dibandingkan
dengan kenaikan anggaran pemerintah baik yang diperoleh wilayah KBI yang hanya
sebesar 14,2% maupun kenaikan secara nasional yang besarnya 16,1%.
Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
7.1
Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
A.
Teori Basis Ekonomi
Teori ini berdasarkan pada ekspor barang (komoditas).
Sasaran pengembangan teori ini adalah peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan
lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan. Proses pengembangan kawasan adalah
merespon permintaan luar negeri atau dalam negeri atau di luar nodalitas serta
multiplier effect ( Geltner, 2005).
Teori ini hanya mampu memprediksi jangka pendek dan
tidak mampu merespon perubahan jangka panjang. Hanya menekankan perlunya
mengembangkan sektor industri non basis, tidak mengenal bahwa ekonomi regional
adalah mengintegrasikan seluruh aktivitas ekonomi yang saling mendukung.
Penerapan pengembangan industri ini berorientasi ekspor dan subtitusi impor,
promosi dan pengerahan industri, peningkatan efisiensi ekonomi ekspor melalui
perbaikan infrastruktur Oleh karena itu, dibutuhkan integrasi antara jenis
industri, prasarana, dan perluasan industri. Dapat disusun hipotesa selain
lokasi juga peranan sektoral serta LQ ( Location Qoutient) sektor konstruksi
perumahan realestat dalam satu kawasan.
B.
Teori Lokasi
Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk
memperhitungkan pola lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya
kegiatan industri dengan cara yang konsisten. Lokasi dalam ruang dibedakan
menjadi dua yaitu:
·
Lokasi absolut.
Lokasi absolut adalah lokasi yang berkenaan dengan
posisi menurut koordinat garis lintang dan garis bujur (letak astronomis).
Lokasi absolut suatu tempat dapat diamati pada peta (kelihatan).
·
Lokasi relatif.
Lokasi relatif adalah lokasi suatu tempat yang
bersangkutan terhadap kondisi wilayah-wilayah lain yang ada di sekitarnya.
Dari sekian banyak teori lokasi, pada prinsipnya sama,
yaitu membicarakan bagaimana menentukan lokasi industri. Teori lokasi yang
dikemukakan oleh Alfred Weber berawal dari tulisannya yang berjudul Uber den
Standort der Industrien pada tahun 1909. Prinsip teori Weber adalah: “Penentuan
lokasi industri ditempatkan di tempat-tempat yang resiko biaya atau ongkosnya
paling murah atau minimal (least cost location)“. Asumsi Weber yang
bersifat
prakondisi adalah sebagai berikut:
·
Wilayah yang
seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya. Keadaan penduduk yang
dimaksud adalah menyangkut jumlah dan kualitasnya.
·
Ketersediaan
sunber daya bahan mentah. Invetarisasi sumber daya bahan mentah sangat
diperlukan dalam industri.
·
Persaingan antar
kegiatan industri.
·
Upah tenaga
kerja. Upah atau gaji bersifat mutlak harus ada dalam industri yakni untuk
membayar para tenaga kerja.
·
Biaya
pengangkutan (ongkos angkut) bahan baku ke lokasi pabrik yang ditentukan oleh
bobot bahan baku dan lokasi bahan baku.
Manusia berpikir rasional.
Weber menyusun model yang dikenal dengan sebutan segitiga lokasional
(locational triangle). Menurut Weber, untuk menentukan lokasi industri terdapat
tiga faktor penentu, yaitu:
·
Material
·
Konsumsi.
·
Tenaga Kerja.
Biaya transportasi menurut Weber tergantung dari dua hal pokok yaitu bobot
barang dan jarak yang harus ditempuh untuk mengangkutnya.
Selain teori dari Weber, dalam pembahasan ini juga
akan dibahas teori tempat pusat (Central
Place Theory) dari Walter
Christaller (1933). Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang
berkaitan dengan masalah tentang bagaimana menentukan jumlah, ukuran dan pola
penyebaran kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Christaller adalah
sebagai berikut:
·
Suatu lokasi
yang memiliki permukaan datar yang seragam.
·
Lokasi tersebut
memiliki jumlah penduduk yang merata.
·
Lokasi tersebut
mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang merata.
·
Jumlah penduduk
yang ada membutuhkan barang dan jasa.
Prinsip yang dikemukakan oleh Christaller adalah:
·
Range adalah
jarak jangkauan antara penduduk dan tempat aktivitas pasar yang menjual
kebutuhan komoditi atau barang. Jika jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan
jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka penduduk cenderung akan mencari
barang dan jasa ke pasar lain yang lebih dekat.
·
Threshold adalah
jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang
kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan
dalam penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population
distribution).
Dari komponen range dan threshold maka lahir prinsip
optimalisasi pasar (market optimizing principle). Prinsip ini antara lain
menyebutkan bahwa dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan
terbentuk wilayah pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan
kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk sekitarnya. Jika sebuah pusat dalam
range dan threshold yang membentuk lingkaran, bertemu dengan pusat yang lain
yang juga memiliki range dan threshold tertentu, maka akan terjadi daerah yang
bertampalan. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan
memiliki kesempatan yang relatif sama untuk pergi kedua pusat pasar itu.
C.
Teori Daya Tarik Industri
Teori daya tarik industri adalah model pembangunan
ekonomi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang
mendasarinya adalah bahwa suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya
terhadap industri melalui pemberian subsidi dan insentif.
Faktor-faktor daya tarik industri adalah:
1. NT tinggi per pekerja.
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang
penting, tak hanya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tapi juga pada
pembentukan PDRB.
2. Industri-industri ikatan.
Ini berarti perkembangan industri-industri tersebut
akak menigkatkan total NT daerah, atau mengurangi ‘kebocoran ekonomi’ dan
ketergantungan impor.
3. Daya saing di masa depan.
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan
industri yang bersangkutan, agar ke depannya pasar memiliki kekuatan untuk
bersaing. Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu
sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi
perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk yang sukses
adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong
pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan
perdagangan internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya
perencanaan agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan perdagangan
internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah menjadi
pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada lingkup daerah,
nasional maupun internasional.
4. Spesialisasi industri.
Suatu daerah sebaiknya berspesialisasi di mana daerah
tersebut unggul (teori klasik perdagangan internasional), dan dengan demikian
daerah tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan.
ACHMAD
IDHAM IMADUDDIN (20214122)
AGUS USMA
IRAWAN (20214513)
DIKA
PAMBUDI (23214070)
LUTHFI
ALDRIANSYAH (26214187)
*Sumber