Syfa akhirnya menyusul yang lainnya mengumpulkan testnya.
Tak lama kemudian, Dipa beranjak dari tempatnya dan mengumpulkan tugasnya.
Butuh 15 menit untuk mengoreksi semua test. Satu persatu kertas hasil test
ditangan Madame berkurang. Tergambar
wajah senang dan adapula wajah pasrah setelah mengetahui poin yang didapat. Alhasil
untuk test pertama ini, 19 dari 45 murid mendapatkan poin dibawah 70. Namun tak
ada satupun dari 19 murid mendapatkan poin 10.
“Semangat zi.. enam putaran kan ? hahaha…” Ledek Dipa.
“Lagi beruntung lu dapet nilai lima.” Balas Zisochi.
“Ayo dong kasih semangat buat Mika. Delapan putaran tuh dia hahaha…” Ledek Rafif.
“Yang dapet tujuh putaran tolong ngaca dong.” Balas Mika.
“Gua mah kalo jadi lu mending sekalian dapet 10 deh, daripada dapet 20 tapi sama aja lari delapan putaran.” Ledek Zisochi.
“Jangan pada banyak omong dah, buruan larinya ! males gua nunggunya !” Protes Pradia.
“Pa, makanya minusin satu putaran. Capek nih.” Pinta Mika.
“Sekarang gua udah ga jadi ketua kelas, jadi ga bisa bantu hahaha..” Kata Pradia.
“Bu, Mika mau korupsi satu putaran bu..” Lapor Agung.
“Kampret lu gung. Hoki aja lu tadi dapet tujuh.” Kata Mika.
Dipa
menjadi orang pertama yang menyelesaikan hukumannya dibanding Zisochi, Rafif
dan Mika. Madame meminta Pradia untuk
menghitung serta mengawasi Mika dan Dipa melaksanakan hukuman yang diberikan.
Sedangkan Rafif dan Zisochi diawasi oleh Agung. Selang beberapa menit Zisochi
dan Rafif berhasil menyusul Dipa dan bergabung duduk di pinggir lapangan. Kini
mereka hanya menunggu Mika menyelesaikan hukumannya dan kemudian kembali ke
kelas Madame.
“Capek juga ya, padahal cuma disuruh lari doang.” Kata Mika.
“Yaiyalah capek, yang nggak capek mah mandangin kehampaan udara.” Ledek Zisochi.
“Mandangin partikel debu juga nggak capek.” Tambah Pradia.
“Terus aja ngeledekin gua.” Keluh Dipa.
Dari arah
belakang, Iman menghampiri mereka dan memberitahukan agar bergegas kembali
menuju kelas. Setelah sampai dipintu kelas, mereka melihat Pak Aram berdiri
seperti menunggu seseorang didepan pintu kelas. Ternyata benar, Pak Aram
menunggu Agung untuk berdiskusi sekarang. “Tumben
sekali Agung dipanggil guru, terakhir kali dua bulan yang lalu sebelum liburan
akhir semester karena video dewasa yang
masih disimpannya di hp.” Heran Pradia dalam pikirnya. Terlihat pula
keheranan diwajah Rafif. Mereka tetap berusaha mendengar percakapan mereka
walaupun hanya suara samar yang terdengar. Tetap melihat kearah luar pintu
kelas walaupun hanya bayangan Agung saja yang terlihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar